Dari balik perlindungannya, palung tempat minum kuda yang
dibaringkan miring, O’Shea mengamati Jeb Moore dan Billy Tomkins lari
lintang-pukang kembali ke rumah.
Tangannya menimang-nimang batu sebesar kepala bayi, siap
dilemparkan ke atas peluru-peluru yang berjajar di atas tanah. Sejujurnya ia
tak sepenuhnya yakin rencananya ini berhasil, namun peluru-peluru tua dari
gudang itu mengingatkannya pada pengalamannya ketika remaja dulu.
O’Shea masih mengingat hari itu seperti baru kemarin. Ia berada
di halaman belakang rumah Pak Tua Jameson sambil menunggu orang tuanya selesai
bertamu. Keluarga Pak Tua Jameson sering berlatih menembak di halaman belakang,
dan O’Shea sering bermain “mencari harta” di sana. Sebenarnya yang dilakukannya
hanyalah mengumpulkan peluru-peluru tua berkarat, namun ia senang melakukannya.
Matahari memancar terik. Angin berhembus malas-malasan.
Sebentar saja O’Shea bosan. Sambil setengah melamun ia memukul-mukul peluru tua
yang dikumpulkannya. Tiba-tiba… DOR!
O’Shea jatuh terjengkang. Telinganya berdenging keras.
Tahu-tahu saja ia sudah dikelilingi banyak orang. Ayahnya datang bergegas
dengan ketakutan. Rasa lega di wajahnya berubah merah padam karena marah. Bila
tidak dicegah Ibu, habislah ia dihajar Ayah.
“Sudah berapa kali kukatakan, jangan main-main dengan peluru,
hah? Kalau kaupukul, peluru itu bisa meledak! Untung kau tidak mati!” sembur
Ayah.
Sejak itu O’Shea selalu berhati-hati menangani peluru. Namun
siapa sangka sekarang nasibnya tergantung pada peluru-peluru tua itu?
O’Shea menghela napas. Peluru yang meledak tadi adalah
percobaan yang kesekian kali. Ia tak yakin semua peluru itu masih bisa meledak
bila tertimpa batu, namun saat ini, itulah satu-satunya peluang baginya dan
Hantu untuk mengulur waktu sampai bantuan datang.
Ia mencoba lagi. Dilemparnya batu itu hingga
menimpa peluru terdekat, lalu merunduk. DOR! O’Shea nyaris tak sempat
berlindung. Sekali lagi… DOR! Sekali lagi… DOR!
Dari arah rumah terdengar bunyi kaca jendela pecah, lalu
seseorang menembak.
Sekali. Dua kali. Arahnya menjauh dari tempat O’Shea
merunduk.
“O’Shea!” panggil Jeb. “Masih hidup, eh?”
“Yeah,” sahut O’Shea. “Kau gagal membunuhku, Jeb.”
Terdengar Jeb memaki-maki. “Kali ini aku tak akan gagal lagi,
O’Shea!”
“Oya?” O’Shea sengaja tertawa terbahak-bahak, mengejek Jeb.
“Aku tak yakin, Jeb. Jadi penjahat kelas teri saja kau tidak becus, apalagi mau
membunuh orang. Bukan levelmu, tahu!”
Suara Jeb memaki lebih keras, disusul serentetan tembakan.
O’Shea melemparkan batu satu demi satu ke atas barisan peluru. Sekali… DOR! Sekali
lagi… DOR!
Tembakan Jeb berhenti. Beberapa saat kemudian suaranya
terdengar lagi. “Tak apa, tertawa sajalah. Malam ini kucabut nyawamu, O’Shea.
Setelah itu kubakar habis rumah ini supaya tidak ada bukti. Setelah itu aku
akan pergi sejauh mungkin dari sini. Tak ada yang bisa menangkapku!”
“Salah besar, Jeb. Salah satu temanmu pasti akan berkicau.
Mereka selalu begitu, kan? Apalagi sekarang. Bukankah ada temanmu yang
kautinggalkan di belakang, Jeb? Kau yakin dia sudah mati? Kalau dia belum mati,
aku bisa membuatnya bicara Jeb, dan dia akan bicara banyak tentang kamu.”
Sambil meraung ganas, Jeb Moore menembakkan senjatanya dengan
membabi buta.
O’Shea berdoa dalam hati agar bantuan segera datang.
Pelurunya sudah hampir habis.
Manaaaaaaaaaaa lanjutannya sis??
BalasHapusKepo pingn cpt selesai
hehehehe... sabar nggih, mbak wid...
Hapusmatur nuwun rawuhipun...
eh, aku supan bingit yak !!! :D :D :D
Proses penangkapannya ini hlo bnr2 menegangkan :-)
BalasHapusGemes mba!
hehehehehehehehe...
Hapusmatur nuwun singgahnya...
good post mbak
BalasHapusterima kasih sudah mampir, pak...
HapusUwaaaa ..... Soal pelurunya tu cerdas soro itu bu Daniiii !!!! *takjub
BalasHapusAq ngerapel hari ini bu :)))) *gada sing tanya
terima kasih sudah singgah, mbak...
Hapusdirapel juga gpp kok... :D :D :D