Bau itu menyerbu
hidung Hilda, nyaris membuatnya tercekik.
Bau wangi yang kini
dibencinya: wangi mawar. Bunga kesayangan Bu Rose, ibu Krisna, kekasihnya.
Kini, tiap kali Hilda melihat bunga mawar, ingatannya selalu melayang pada
perempuan itu. Sayang sekali bukan ingatan yang menyenangkan.
Dari baunya saja ia
tahu, Bu Rose sudah menunggunya di rumah kos. Diam-diam ia mengutuk dalam hati.
Aduh, bau ini… Rumah kosnya saja masih tersembunyi di balik tikungan depan, namun
bau mawar sudah tercium. Memangnya berapa galon parfum yang disemprotkan
perempuan itu ke tubuhnya?
Tak sadar langkahnya
melambat. Ia sungguh-sungguh tak ingin bertemu Bu Rose. Tubuhnya lelah,
pikirannya penat. Saat ini ia hanya ingin tidur. Sejak Krisna diopname karena gangguan
lambungnya kumat, sebelum dan sepulang kuliah ia mampir dulu ke rumah sakit. Ia
baru beranjak ketika tiba saatnya ia mengajar. Ia tak tega meninggalkan
murid-murid kecilnya, terutama yang sudah kelas 6 SD. Setelah semua urusan
memberi les selesai, baru ia pulang ke pondokannya.
Kedatangan Bu Rose
memuncaki segala rasa lelahnya. Bu Rose tak menyukainya, dan tak pernah
bersusah-payah menutupinya. Perempuan itu selalu curiga Hilda “ada maunya”
terhadap Krisna, putra kesayangannya itu. Hilda mendesah. Sayangnya Krisna
sangat menyayangi dan menghormati ibunya.
Dari sela-sela pagar
rumah kos, dilihatnya Bu Rose sudah menunggunya. Duduk dengan punggung tegak,
tangan terlipat rapi di pangkuan, dandanan rapi tanpa cela. Teras rumah kos
kecil sederhana di tengah perkampungan padat dan perempuan yang apik dan cantik
itu bukanlah padanan yang pas. Ia lebih pantas duduk di sebuah café vintage yang tenang ditemani
secangkir kopi yang harum.
Setelah membulatkan
tekad, ia membuka pintu pagar.
Bu Rose mendongak
mendengar pintu pagar terbuka. Ia mengernyit melihat Hilda seakan-akan ada
sesuatu yang berbau busuk di hadapannya. Hilda menguatkan hati. Tak apa, batinnya, toh bukan pertama
kali ini ia menangkap ekspresi itu di wajah Bu Rose tiap kali mereka bertemu.
Namun tak urung dadanya terasa nyeri.
“Selamat sore, Bu,”
sapa Hilda.
“Sore.” Bu Rose
memandanginya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia mengangkat sebelah
alisnya yang sempurna. “Dari mana saja, jam segini baru pulang?”
Bukan urusanmu.
“Dari mengajar, Bu. Tadi ada jadwal les.”
Bu Rose memandangnya
lagi. “Ditunggu dari tadi, baru nongol sekarang,” gerutunya.
“Maaf, Bu.” Ah, kenapa pula ia minta maaf?
Bu Rose mendengus.
“Bu Rose ingin
bertemu saya?” tanya Hilda berbasa-basi.
“Ya iyalah,” jawab Bu
Rose judes.
“Mari ke kamar saya
saja,” ajak Hilda sambil membuka pintu depan.
Wangi mawar memenuhi seluruh
penjuru kamar ketika Bu Rose menempati satu-satunya kursi di kamar Hilda dan si
empunya kamar mengalah, duduk di tepi kasur yang terhampar di lantai. Setengah
mati Hilda berusaha menahan diri agar tidak mendengus. Bau wangi ini memenuhi
rongga hidungnya, membuatnya sesak napas.
Setelah mendehem, Bu
Rose membuka percakapan. “Aku melihatmu di rumah sakit tadi.”
Hilda mengangguk. Ia
menunggu. Kalau melihat, kenapa tidak
menyapa? gerutunya dalam hati. Gengsi,
ya?
Bu Rose memilih
kata-katanya dengan hati-hati. “Terima kasih kamu sudah telaten merawat Krisna.”
Lalu ia berhenti.
Hilda menunggu
lanjutan kata-kata Bu Rose dengan was-was. Ucapan terima kasih seperti ini
biasanya ujungnya tidak enak. Nada suara seperti ini pernah didengarnya
beberapa saat menjelang ia diberhentikan dari kantor tempat ia bekerja sebagai office girl dulu.
“Tak lama lagi Krisna
melamarmu.”
Hilda terkesiap,
terkejut campur bahagia. Ia tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut
Bu Rose. “Sungguh? Kok Ibu tahu?”
Bu Rose mendelik ke
arahnya. Sikap sinisnya kembali lagi. “Ya tahu dong, aku kan ibunya!”
Senyum Hilda
meluntur. Hatinya bak diremas tangan tak kasat mata. “Ibu tidak suka kalau
Krisna melamar saya,” simpulnya.
“Aku tak punya pilihan lain. Aku ingin Krisna
buru-buru menikah agar ada yang merawatnya sepeninggalku, namun Krisna selalu
menolak gadis-gadis pilihanku. Sebaliknya, aku tahu gadis-gadis yang
mengerubungi Krisna seperti gerombolan lalat itu hanya mau padanya bila Krisna
sehat dan banyak duit saja. Seandainya ada pilihan lain... Sayangnya selama ini
kulihat hanya kamu yang betul-betul peduli padanya.”
“Jadi pilihannya
tinggal saya.”
Bu Rose mengangguk.
“Pilihannya tinggal kamu.”
Hilda menegakkan
tubuh. “Lalu untuk apa Ibu ke sini?”
Bu Rose mengernyit.
“Maksudmu?”
Ayo Hilda, katakan saja. Kesempatan tidak datang dua
kali.
“Krisna akan melamar
saya, tapi Ibu tidak suka. Saya tidak perlu tahu kenapa Ibu keberatan Krisna
menikahi saya. Kalau Ibu keberatan, Ibu cukup bilang saja pada Krisna, tidak
perlu datang ke sini.”
Wajah Bu Rose
memerah. Setelah menghela napas, perempuan itu berkata, “Aku harus tahu, harus yakin…”
“Bahwa Krisna tidak
salah memilih saya?” Hilda mengangkat bahu. “Saya tahu Ibu sudah mengamati saya
sejak lama. Mestinya Ibu sudah tahu cukup banyak tentang saya.”
Bu Rose menatap
Hilda, tajam.
“Apa lagi yang Ibu
ingin tahu tentang saya? Ayah saya bukan orang kaya, karena itu saya kuliah
sambil mengajar. Itu pekerjaan paling ideal buat saya karena waktunya bisa saya
atur sendiri, uangnya lumayan, dan saya suka anak-anak.”
“Kenapa tidak minta
Krisna membayar uang kuliahmu? Krisna toh kaya.”
Hilda tertawa pahit. “Saya
bukan pengemis. Saya kuat dan sanggup bekerja. Sejak dulu, sekarang, bahkan
hingga nanti, seandainya kami menikah, saya tidak akan ongkang-ongkang kaki
sambil menadahkan tangan. Pada Krisna, sekalipun.”
“Krisna pintar.”
“Saya memang tidak
pintar, tapi saya mau belajar.”
“Krisna butuh istri yang
memahaminya.”
“Hubungan kami
berawal dari persahabatan. Kami memahami satu sama lain.”
“Krisna butuh istri
yang mau mengurusi keluarga.”
Hilda memutar bola
matanya, tak percaya. “Selama ini bila Krisna sakit, saya yang merawat dia.”
Bu Rose kehabisan
kata-kata. Sejenak mereka terdiam.
“Saya tidak seperti
Ibu. Mungkin selamanya takkan bisa menjadi seperti Bu Rose, menjadi ibu dan
istri yang sempurna. Saya tidak cantik. Tidak kaya. Tidak pintar. Tapi kita
berdua menyayangi laki-laki yang sama. Percayalah bahwa saya tidak akan
menyakiti laki-laki yang sama-sama kita sayangi itu.”
Bu Rose memandanginya
dengan seksama. “Kamu sanggup berjanji akan menepati kata-katamu barusan?”
Hilda mengangguk
yakin. “Tentu saja. Silakan Ibu marahi saya kapan saja Ibu merasa saya
berbohong.”
Bu Rose mengangguk. “Semua
ini… bukan berarti aku suka padamu,” kata Bu Rose.
“Saya tahu.”
“Aku harap aku tidak
membuat keputusan yang salah dengan memilihmu.”
“Apakah ini berarti Ibu merestui pernikahan
kami? Bagaimanapun, restu dari Ibu sangat penting buat Krisna.”
Bu Rose tersenyum
kecil. Kelembutan dan kehangatan memancar dari wajahnya. Sejenak Hilda bisa
melihat mengapa kekasihnya sangat menyayangi ibunya. “Ya, aku menerimamu menjadi
istri Krisna.”
Hilda balas
tersenyum. Beban mahaberat sudah terangkat dari dadanya. “Tentang restu ini…
siapa yang akan memberitahu Krisna? Ibu
sendiri atau saya?”
Bu Rose terkekeh.
“Aku yang akan mengatakannya sendiri padanya.” Lalu, “Aku pamit dulu.”
Hilda beranjak dari
duduknya. “Silakan bila Ibu mau berkunjung lagi.” Ia ragu-ragu sejenak, lalu
tersenyum. “Bagaimanapun, seperti saya bilang tadi, kita berdua menyayangi
laki-laki yang sama.”
Bu Rose menyentuh
pipinya. Hilda memejamkan mata, merasakan angin dingin membelai wajahnya. “Aku
tidak akan pernah jauh. Dan ya, aku pasti akan datang lagi. Aku sudah tak sabar
ingin punya cucu dan mengunjungi mereka. Tidak apa-apa, kan?”
“Tentu saja. Mereka
akan mengenal Ibu sebagai nenek luar biasa, yang sudah membesarkan ayah yang hebat
buat mereka.”
Bu Rose tersenyum.
Lengkungan di bibir yang sempurna dan kilau di matanya mencerahkan kamar Hilda.
Betapa cantik perempuan ini, batin Hilda sambil mengamati sosok Bu Rose
pelan-pelan terurai seperti kabut terkena sinar matahari.
Baru setelah wangi
mawar benar-benar hilang dari kamarnya, Hilda yakin Bu Rose sudah pergi.
Hmmm... Tetep sek merinding ae moco ending-e 👍👍👍
BalasHapushehehehehehe...
Hapusentah kenapa mood-ku gelap terus, jeng...
matur nuwun yooo...
keterpaksaan bu Rose.. seperti kehidupan yg tak selalu mulus jalannya.
BalasHapusdilematis yaaa...
Hapusmatur nuwun sudah singgah.
good post mbak, bagi yang punya anak laki-laki boleh tuh ibunya bergaya kaya bu Rose, eh saya juga punya 4 anak2 laki he he
BalasHapusanak saya juga laki-laki, pak...
Hapusterima kasih sudah singgah.
Lhoh !
BalasHapusBu Rose ..... ????
Untung bacae siang" bu Dani.
Tapi aq gakapok bacae koq bu.
waduh... ya jangan sampe kapok to mbaaaaaakkkk...
Hapussuwun wes mampir yow...