SAMUDRA
Mungkin aku
satu-satunya pria di dunia yang terobsesi pada acara pernikahan yang sempurna.
Tentu
saja aku tidak berambisi mengenakan setelan trendi karya desainer tertentu. Aku
tidak bernafsu memburu cincin pernikahan limited
edition yang muncul di pameran perhiasan. Aku juga tidak peduli berapa
banyak tamu yang akan diundang, atau di mana pestanya akan diselenggarakan,
atau di mana pengantin akan berbulan madu.
Pernikahan yang sempurna bagiku adalah
pesta keluarga. Ada kakek-nenek, ayah-ibu, anak, cucu, paman-bibi, sepupu,
bahkan cicit dan canggah, bila masih hidup. Semua hadir, semua memberi restu,
semua bersuka-ria. Semua mengantarkan pasangan pengantin untuk memasuki
kehidupan mereka berdua. Melepaskan mereka dari ikatan keluarga inti, untuk
membentuk keluarga inti mereka sendiri.
Seperti
yang pernah kulihat dalam rekaman video pernikahan Papa dan Mama. Keluarga
besar Papa dan keluarga besar Mama berkumpul di sana. Sebuah acara pernikahan sekaligus ajang
pertemuan keluarga besar. Seperti itulah resepsi
pernikahan
yang sempurna bagiku.
Perceraian
mereka membuatku tidak sempat mengenal banyak wajah yang tertawa dan tersenyum
dalam rekaman video itu. Orang-orang yang ingin kuakrabi tapi tak bisa.
Sejak
itu aku berjanji dalam hati: resepsi pernikahanku
harus sesempurna itu juga. Papa dan Mama boleh saja bercerai, apapun alasannya
aku tak peduli, tapi aku ingin mereka mendampingiku pada hari istimewaku itu.
Bukankah kami ini keluarga? Bukankah aku anak mereka? Bukankah seharusnya restu
mereka berdua yang mengawali hidupku bersama istriku kelak?
Selama
bertahun-tahun aku tak sabar menanti resepsi
pernikahanku sendiri. Hari di mana
keluargaku utuh lagi. Orang tuaku hadir bersama, melepasku menjadi suami dan
ayah yang baik. Hari di mana aku berbagi kebahagiaan dengan keluarga besarku, orang-orang
yang berbagi darah dan asal-usul yang sama denganku.
Sudah
lama kupendam mimpi ini. Hasrat yang nyaris tak
terbendung setelah aku bertemu Atikah, perempuan yang layak mendapatkan
laki-laki yang lebih baik dariku, tapi toh ia memilihku. Kesediaannya
menungguku menikahinya makin membuatku takjub dan bersyukur.
Hari
ini sebuah surel mengabarkan bahwa permohonanku untuk mengikuti program doktoral
di sebuah universitas di luar negeri diterima. Sebuah surel yang menegaskan
bahwa memang sudah saatnya aku menikah. Aku tak bisa meninggalkan Atikah. Aku
juga tidak bisa meminta dia menungguku lebih lama lagi.
Saatnya
mewujudkan mimpi resepsi
pernikahan yang sempurna. Saatnya Mama memenuhi keinginanku.
*****
RATRI
Putraku
akan menikah.
Sam,
putraku, belahan hatiku, matahariku, hidup dan matiku, akan menikah.
Saat
ini ia sedang menatapku dengan matanya yang bulat. Menunggu jawabanku, setelah
baru saja ia memintaku melamarkan Atikah, kekasihnya. Seperti biasa, ia tidak
menampakkan emosi yang berlebihan, seakan-akan sudah yakin bahwa aku akan
menuruti keinginannya.
Dan
kenapa tidak? Aku tak punya alasan untuk menolak permintaannya. Sam sudah
membuktikan bahwa ia anak yang luar biasa dan membanggakan. Lulusan termuda di
fakultasnya ketika usianya baru 19 tahun, langsung diterima bekerja sebagai dosen di almamaternya, lulus program master di usia 21 tahun, dan sekarang diterima
di program doktoral ketika baru saja berusia 25 tahun. Di luar negeri pula. Tentunya
ia ingin mengajak serta Atikah,
kekasihnya itu.
Kuraih
Sam dalam pelukanku. Kami berpelukan lama. Semua emosi tumpah di sana. Aku
masih sulit percaya bayi yang dulu begitu mungil dalam dekapanku kini telah
menjelma menjadi laki-laki yang merengkuhku dalam dadanya yang bidang.
Laki-laki yang menginginkan restuku untuk menjalani hidup baru. Hidup baru
baginya sebagai suami dan kepala keluarga. Hidup baru bagiku, berbagi dengan
perempuan lain dalam hidup anakku.
“Besok
Mama akan ketemu orang tua Atikah sambil membicarakan acara pernikahanmu.
Walaupun menurut adat kita resepsi pernikahan itu urusan pengantin perempuan,
Mama juga ingin punya andil dalam acara pernikahanmu,” kataku sambil mengelus
rambutnya. Mataku basah oleh haru. “Kamu anak Mama satu-satunya. Mama ingin
menikahkanmu dengan sebaik-baiknya. Kamu pengen perayaan yang seperti apa?
Bilang saja.”
Sam menggeleng. “Aku sih nurut aja, terserah
Mama. Aku cuma pengen nanti Mama dan Papa mendampingi aku di pelaminan.”
Puokoke recommended wes!!!
BalasHapustengkyu rekomennyaaa...
Hapuspeyuuuukkkk... #cupcupmuachmuach
Yippieee
BalasHapusyuhuuuuuuuu...
Hapusterima kasih mampirnya, mbak... :D
Kereeen mas, penasaran nunggu lanjutannya.
BalasHapussiyaaaappp...
Hapusmatur nuwun, mbak... :D
Mantap Sam, kutunggu uandanganmu :-P
BalasHapussiyaaaappp...
Hapusjangan lupa kadonya... :D
matur nuwun sudah singgah...
good post mas
BalasHapusterima kasih, mas... :D
Hapusganti ah, Good post mbak.
HapusKl bersambung begini sy bookmark dl sj mba Dani. Suka ndak konek kl bacanya ndak langsung habis.
BalasHapusBy the way, kok pd panggil "MAS" ini bgmn ceritanya ya? Haha.. (C)
iya, mas... gpp... sesempatnya njenengan aja...
Hapussoal panggilan "mas", nggak papalah...
saya juga salah karena nggak pasang foto...
tapi bersama ini profil pribadi sudah muncul kok...
jadi pasti sudah gak salah lagi... :D
matur nuwun rawuhipun...
Catatan dr pemberi link: recommended!
BalasHapusTampaknya dia bnr! :-)
waaaah keren bu, berkali-kali saya belajar bikin cerbung, hiiikksss tetap belum bisa juga :D
BalasHapusMenarik Sekali ceritanya
BalasHapusKunjungi : Souvenir Pernikahan