Jumat, 27 November 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 1



SAMUDRA
Mungkin aku satu-satunya pria di dunia yang terobsesi pada acara pernikahan yang sempurna.

 
Tentu saja aku tidak berambisi mengenakan setelan trendi karya desainer tertentu. Aku tidak bernafsu memburu cincin pernikahan limited edition yang muncul di pameran perhiasan. Aku juga tidak peduli berapa banyak tamu yang akan diundang, atau di mana pestanya akan diselenggarakan, atau di mana pengantin akan berbulan madu.

Pernikahan yang sempurna bagiku adalah pesta keluarga. Ada kakek-nenek, ayah-ibu, anak, cucu, paman-bibi, sepupu, bahkan cicit dan canggah, bila masih hidup. Semua hadir, semua memberi restu, semua bersuka-ria. Semua mengantarkan pasangan pengantin untuk memasuki kehidupan mereka berdua. Melepaskan mereka dari ikatan keluarga inti, untuk membentuk keluarga inti mereka sendiri.

Seperti yang pernah kulihat dalam rekaman video pernikahan Papa dan Mama. Keluarga besar Papa dan keluarga besar Mama berkumpul di sana. Sebuah acara pernikahan sekaligus ajang pertemuan keluarga besar. Seperti itulah resepsi pernikahan yang sempurna bagiku.

Perceraian mereka membuatku tidak sempat mengenal banyak wajah yang tertawa dan tersenyum dalam rekaman video itu. Orang-orang yang ingin kuakrabi tapi tak bisa.

Sejak itu aku berjanji dalam hati: resepsi pernikahanku harus sesempurna itu juga. Papa dan Mama boleh saja bercerai, apapun alasannya aku tak peduli, tapi aku ingin mereka mendampingiku pada hari istimewaku itu. Bukankah kami ini keluarga? Bukankah aku anak mereka? Bukankah seharusnya restu mereka berdua yang mengawali hidupku bersama istriku kelak?

Selama bertahun-tahun aku tak sabar menanti resepsi pernikahanku sendiri. Hari di mana keluargaku utuh lagi. Orang tuaku hadir bersama, melepasku menjadi suami dan ayah yang baik. Hari di mana aku berbagi kebahagiaan dengan keluarga besarku, orang-orang yang berbagi darah dan asal-usul yang sama denganku. 

Sudah lama kupendam mimpi ini. Hasrat yang nyaris tak terbendung setelah aku bertemu Atikah, perempuan yang layak mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku, tapi toh ia memilihku. Kesediaannya menungguku menikahinya makin membuatku takjub dan bersyukur.

 
Hari ini sebuah surel mengabarkan bahwa permohonanku untuk mengikuti program doktoral di sebuah universitas di luar negeri diterima. Sebuah surel yang menegaskan bahwa memang sudah saatnya aku menikah. Aku tak bisa meninggalkan Atikah. Aku juga tidak bisa meminta dia menungguku lebih lama lagi.

Saatnya mewujudkan mimpi resepsi pernikahan yang sempurna. Saatnya Mama memenuhi keinginanku.
*****
RATRI
Putraku akan menikah.

Sam, putraku, belahan hatiku, matahariku, hidup dan matiku, akan menikah.

Saat ini ia sedang menatapku dengan matanya yang bulat. Menunggu jawabanku, setelah baru saja ia memintaku melamarkan Atikah, kekasihnya. Seperti biasa, ia tidak menampakkan emosi yang berlebihan, seakan-akan sudah yakin bahwa aku akan menuruti keinginannya.

Dan kenapa tidak? Aku tak punya alasan untuk menolak permintaannya. Sam sudah membuktikan bahwa ia anak yang luar biasa dan membanggakan. Lulusan termuda di fakultasnya ketika usianya baru 19 tahun, langsung diterima bekerja sebagai dosen di almamaternya, lulus program master di usia 21 tahun, dan sekarang diterima di program doktoral ketika baru saja berusia 25 tahun. Di luar negeri pula. Tentunya ia ingin mengajak  serta Atikah, kekasihnya itu.

Kuraih Sam dalam pelukanku. Kami berpelukan lama. Semua emosi tumpah di sana. Aku masih sulit percaya bayi yang dulu begitu mungil dalam dekapanku kini telah menjelma menjadi laki-laki yang merengkuhku dalam dadanya yang bidang. Laki-laki yang menginginkan restuku untuk menjalani hidup baru. Hidup baru baginya sebagai suami dan kepala keluarga. Hidup baru bagiku, berbagi dengan perempuan lain dalam hidup anakku.

“Besok Mama akan ketemu orang tua Atikah sambil membicarakan acara pernikahanmu. Walaupun menurut adat kita resepsi pernikahan itu urusan pengantin perempuan, Mama juga ingin punya andil dalam acara pernikahanmu,” kataku sambil mengelus rambutnya. Mataku basah oleh haru. “Kamu anak Mama satu-satunya. Mama ingin menikahkanmu dengan sebaik-baiknya. Kamu pengen perayaan yang seperti apa? Bilang saja.”

Sam menggeleng. “Aku sih nurut aja, terserah Mama. Aku cuma pengen nanti Mama dan Papa mendampingi aku di pelaminan.”

Jantungku seakan berhenti berdenyut.

Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 2

16 komentar:

  1. Balasan
    1. tengkyu rekomennyaaa...
      peyuuuukkkk... #cupcupmuachmuach

      Hapus
  2. Kereeen mas, penasaran nunggu lanjutannya.

    BalasHapus
  3. Mantap Sam, kutunggu uandanganmu :-P

    BalasHapus
    Balasan
    1. siyaaaappp...
      jangan lupa kadonya... :D

      matur nuwun sudah singgah...

      Hapus
  4. Kl bersambung begini sy bookmark dl sj mba Dani. Suka ndak konek kl bacanya ndak langsung habis.
    By the way, kok pd panggil "MAS" ini bgmn ceritanya ya? Haha.. (C)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, mas... gpp... sesempatnya njenengan aja...

      soal panggilan "mas", nggak papalah...
      saya juga salah karena nggak pasang foto...
      tapi bersama ini profil pribadi sudah muncul kok...
      jadi pasti sudah gak salah lagi... :D

      matur nuwun rawuhipun...

      Hapus
  5. Catatan dr pemberi link: recommended!
    Tampaknya dia bnr! :-)

    BalasHapus
  6. waaaah keren bu, berkali-kali saya belajar bikin cerbung, hiiikksss tetap belum bisa juga :D

    BalasHapus