Bobby buru-buru berganti pakaian,
lalu menyelinap keluar lewat pintu dapur. Rasa penasaran mengalahkan
ketakutannya. Setelah mengunci pintu dapur dan menyimpan kuncinya dengan cermat
di saku celana, ia melompat ke dalam parit kering yang menjulur sampai ke ladang.
Dasar parit setinggi lehernya, sehingga ia bisa berjalan dengan leluasa, namun
tetap tersembunyi. Dengan begini ia bisa mendekati gerumbul pohon tanpa
diketahui.
Pelan tapi pasti Bobby merambat
maju. Punggungnya sakit karena berjalan terbungkuk-bungkuk, namun ia tak berani
terburu-buru karena bunyi sekecil apapun bisa membuyarkan rencananya. Sedikit
lagi, kurang sedikit lagi…
“Membosankan sekali! Masih lama
nih, nunggunya?”
Sebuah suara mengagetkannya. Nyaris
saja Bobby terpeleset. Rupanya ia sudah dekat sekali! Dengan hati-hati Bobby mengintip
dari balik semak yang tumbuh di sepanjang tepi parit.
Tempat itu gelap. Satu-satunya
penerangan adalah api rokok yang sedang diisap seseorang di situ. Bobby
menghitung sosok-sosok yang duduk di bawah bayang-bayang pohon. Satu, dua,
tiga. Ada tiga
orang. Mana mungkin ada tiga hantu?
Bobby terheran-heran. Berbagai
pertanyaan muncul di kepalanya. Inikah hantunya? Kok ada tiga orang? Bukankah
hantunya cuma satu? Rasanya tidak masuk akal, kalau tiga orang bergantian jadi
hantu. Tapi kalau mereka bukan hantu, apa yang mereka lakukan di sini?
Sebuah suara serak menyahut,
“Sabar, tinggal satu kali lagi petugas berpatroli, baru kita bergerak. O’Shea
sialan itu menyebar begitu banyak petugas cecunguk di sekitar sini.”
Si Perokok menyedot rokoknya
dalam-dalam. Sekilas wajahnya diterangi cahaya samar-samar api rokok. “Kau
yakin Dunkirk
ini sasaran empuk? Pertaniannya saja berantakan begini.” Bobby mengenali
suaranya. Rupanya orang ini yang tadi ia dengar suaranya pertama kali.
“Percayalah. Duitnya banyak. Kalau
tidak, pasti tanah ini sudah dijualnya dari dulu. Tanah pertanian seperti ini
hasilnya tidak seberapa, tapi Ted Dunkirk hidup mewah. Jadi pasti hartanya
cukup banyak untuk hidup sehari-hari,” si Suara Serak menyahut.
“Ted sudah pergi?” Si Perokok
rupanya masih ragu-ragu.
“Jangan cerewet! Sejak kapan kau
jadi penakut begini? Aku lihat sendiri tadi siang Ted dan istrinya pergi. Kan aku sendiri yang atur kepergian mereka pakai surat palsu. Paling cepat
mereka baru akan tiba kembali besok sore. Oke? Jadi diamlah. Kamu bikin aku
gugup, tahu,” sergah sebuah suara lain yang tak asing bagi Bobby. Darahnya
terasa beku. Ini suara Jeb Moore!
“Kalau ketahuan keponakannya,
bagaimana? Aku tidak mau kembali ke penjara!”
Jeb Moore terkekeh jahat. “Gampang.
Kita bereskan saja.”
Kata-kata Jeb Moore membekukan
jantung Bobby. Ia tak ingin ‘dibereskan’ oleh Jeb Moore!
Setelah itu mereka diam lagi. Si
Perokok mematikan rokoknya. Tempat itu kini benar-benar gelap. Sebentar
kemudian terdengar suara keletak-keletuk kaki kuda mendekat. Bobby pindah ke
sisi parit yang lain, lalu mengintip ke jalan raya. Ada dua petugas keamanan berkuda
berdampingan. Sejenak mereka berhenti di depan pagar tanah pertanian Ted
Dunkirk, lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Betapa inginnya Bobby melompat keluar
dari parit, lalu lari secepat-cepatnya ke arah kedua petugas itu! Ingin benar
rasanya melaporkan rencana jahat Jeb Moore dan teman-temannya. Biar tahu rasa
orang-orang jahat itu! Tapi Bobby tak mampu bergerak. Kakinya lemas,
seakan-akan tulangnya hilang semua. Ia juga tak berani berteriak memanggil,
karena ketiga orang jahat itu duduk sangat dekat dengannya. Bisa-bisa ia celaka
sebelum berhasil minta tolong!
Ketiga orang itu mendengarkan
dengan cermat. Setelah kedua petugas itu hilang di tikungan, Jeb bangkit.
“Ayo!” ajaknya. Kedua temannya menyusul. Bertiga mereka mengendap-endap ke arah
rumah.
Bobby mengintip terus dari balik
semak. Setelah ketiga orang itu berjalan lebih dari enampuluh langkah, baru
Bobby berani bangkit dari persembunyiannya. Hati-hati ia ambil ancang-ancang
melompat, tapi…
Sebuah tangan yang besar membekap
mulutnya dari belakang. Bobby memberontak sekuat tenaga, tapi tangan itu lebih
kuat. Tubuhnya dicengkeram erat-erat sehingga ia tak bisa lari.
Hadeeeh... motong episodeneeee...
BalasHapus*garuk-garuk aspal*
Lanjooot...
lha lapo nggaruki aspal, nyah ?? :D :D :D
Hapusokay...
segera lanjoooottt...
matur nuwun...
Jen Moore masih sodaraan sama penyanyi Garry Moore itu ya Mbak?#salah fokus
BalasHapusLanjut wis Mbak...
dulu sekampung di wates, mbak dyah... :D :D :D
Hapussiyap lanjut...
matur nuwun...
good post mbak
BalasHapusterima kasih, pak...
HapusBu Dani kayanya ini pola terbitnya cerbung rabu-sabtu ya ?
BalasHapusTambah seru !
walah...
Hapuswong ini kebetulan aja ilhamnya nungul pas rabu dan sabtu, mbak...
mungkin besok2 nungulnya hari lain, siapa tau ??
sing penting, monggo mengikuti...
matur nuwun dah mampir yaaa...
Ternyata oknum hantunya baik :-)
BalasHapus