Hujan selalu mengingatkanku padamu.
"Masih hujan?”
tanyamu.
Kehangatan tubuhmu menerpa
tubuhku yang terbuka, mengalihkan perhatianku dari hujan di balik jendela. Aku
tak menjawab: kau tak tertarik pada jawabanku.
Kau menarikku dalam
dekapanmu lalu menciumku. Tak ada kelembutan di situ: aku tak mengharapkannya.
Tak ada cinta: kita sudah sepakat dari mula.
Kautatap mataku dan
kau mengerti. Tubuhku milikmu dan aku percaya padamu. Kau hati-hati, selalu. Jejakmu
di tubuhku selalu rapi tersembunyi. Sentuhanmu menyengat tubuhku, mengoyak
kulitku, tapi kau tahu sakitku lebih dalam daripada sekedar kulit yang tercabik,
atau darah yang menetes, atau bilur-bilur yang membuatku mengaduh.
Seluruh diriku adalah indera
yang sekarat. Sentuhanmu, betapapun menyakitkan, menghidupiku.
Jemari kita terjalin,
dan kau berbisik di telingaku, “Lepaskan. Sekarang.”
Maka aku menjerit,
menyumpah, memaki dunia yang membuatku menjadi aku.
Pelepasan yang
sempurna.
Sakit batin ditindas
sakit fisik. Luka ditutup luka. Seluruh dirimu membalut seluruh diriku.
Lalu inderaku bernyawa
lagi.
Tak ada yang tahu, tak ada yang peduli. Tak apa. Hanya ada kita dan hujan. Bayangan rinainya bermain-main di dinding. Derapnya di kaca jendela menenggelamkan suara kita. Sejuknya mendinginkan bara tubuh kita.
Saat ini, di sini, aku jadi manusia lagi.
Hujan selalu mengingatkanku padamu. Dan saat-saat singkat
ketika aku menjadi manusia.
Untuk CLN. 2013.
Merayakan hari lahir kita.
9-10.10.
9-10.10.
good post mbak
BalasHapusterima kasih, pak...
Hapusterima kasih mampirnya.
Wuiihhh sekarang jadi apa dong Bu? Hhehe..
BalasHapusjadi bidadari... eh, zombie... eh, bidadari... eh, zombie...
Hapus#galau
hehehehehehehehehe...
terima kasih mampirnya ya mbak...